Top Ad unit 728 × 90

BREAKING NEWS

PARENTING

HUKUM BERJIMAK SAAT PUASA RAMADHAN

HUKUM BERJIMAK SAAT PUASA RAMADHAN

Penulis Al Ustadz Abu Zakariya Rishky Al Atsary

Apabila seseorang melakukan jima’ dengan istrinya pada siang hari Ramadhan, hukum apakah yang diwajibkan baginya?

Sebagian   besar   ulama   berpendapat   akan   wajibnya   kaffarah. Berdalilkan  dengan  hadits  Abu  Hurairah  -radhiallahu  ’anhu-  terdahulu.
Dimana  seseorang  sahabat  datang  yang  berkata  kepada  Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, binasalah saya!”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Apakah yang telah membuatmu binasa?”
Dia berkata, “Saya telah berhubungan intim dengan istriku pada siang hari Ramadhan.
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,   “Apakah   engkau   memiliki   kemampuan   untuk membebaskan seorang budak?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau sanggup untuk berpuasa dua bulan berturut-turut?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apakah engkau sanggup untuk memberi makan enam puluh orang miskin?”
Dia menjawab, “Tidak.”
Lalu  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terduduk,  hingga  ada yang  membawa  setandan kurma  kepada  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu  bersabda  kepada  orang  tersebut, “Bersedekahlah dengan korma ini.”
Dia  bertanya,  ”Apakah -sedekah  tersebut-  kepada  yang  paling  miskin diantara   kami?   Karena   tidak   ada   diantara   dua   batas   desa   kami, penduduknya yang lebih butuh dari pada kami.”
Maka  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa  hingga  geraham  beliau  menjadi  terlihat,  dan bersabda, “Pergilah dan berilah keluargamu makan dengan kurma ini.”
(HR. al-Bukhari no. 1936 dan Muslim no. 781-782 dan selainnya)
Dan  pada  riwayat  lainnya,  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  ”Dan  puasalah engkau menggantikan hari tersebut.”
(HR.  Abu  Dawud  no.  2583,  al-Hakim  2/203,  ad-Daraquthni  2/190,  Ibnu Khuzaimah no. 1954 dan al-Baihaqi 4/226-227 dari jalan Hisyam bin Sa’ad dari az-Zuhri dari   Abu Salamah bin Abdurrahman dari Abu Hurairah) -Telah diterangkan akan kelemahan lafazh tambahan ini sebelumnya.-
Dan diriwayatkan pada jalan lainnya, dari jalan Ibnu al-Musayyab dari Abu Hurairah, pada riwayat Ibnu Majah 1/523, namun pada sanadnya terdapat Abdul Jabbar bin Umar dan dia perawi yang dha’if.
Imam Ahmad juga meriwayatkan didalam Musnad beliau 2/208, dari jalan Amru bin Syu’aib dari bapaknya dari kakeknya semisal dengan hadits diatas.
Dan  juga  diriwayatkan  dari  Aisyah  -radhiallahu  ’anha-  secara  marfu’ semisal dengan hadits Abu Hurairah. (HR. al-Bukhari no. 1935 dan Muslim no. 783)
Sebagian  ulama  lainnya  menyelisihi  pendapat  ini,  diantara  mereka adalah asy-Sya’bi, an-Nakha’i, Sa’id bin Jubair dan Muhammad bin Sirin. Mereka  berpendapat  bahwa  kaffarah  tidaklahwajib.  Seandainya  wajib, niscaya tidak akan gugur karena keadaan -ekonomi- yang sempit.
Pendapat yang shahih adalah pendapat mayoritas ulama, berdasarkan dalil-dalil  syara’  yang  sangat  jelas  menunjukkan  keharusan  membayarkan kaffarah bagi seseorang yang melakukan jima’ pada siang hari Ramadhan.
Sedangkan  pendapat  yang  menyatakan  tidak  wajibnya  kaffarah  dengan dalih  gugurnya  kaffarah  tersebut  jika  dalam  keadaan  sempit,  adalah inferensi dari masalah yang masih diperdebatkan oleh ulama..
Dimana masalah ini, yaitu jika seseorang dalam keadaan kesulitan/tidak mampu   dalam   membayarkan   kaffarah,   terdapat   perbedaan   pendapat dikalangan ulama, sebagaimana furu’ berikut ini.

Apabila seseorang dalam keadaan tidak mampu/kesulitan  membayarkan kaffarah, apakah kaffarah masih diharuskan baginya atau tidak?

Terdapat dua pendapat dikalangan ulama berkaitan dengan keadaan semisal ini.
Pendapat  pertama,  bahwa  kaffarah  tidaklah  gugur  hanya  dikarenakan ketidak  mampuan  seseorang  membayarkan  kaffarah.  Dan  pendapat  ini merupakan pendapat mayoritas ulama.
Berdasarkan   pendapat   ini,   jika   seseorang   dalam   keadaan   tidak mampu/kesulitan  membayarkan  kaffarah,  maka  diberikan  jeda  waktu untuk membayar kaffarah, yaitu hingga dia sanggup menunaikannya.
Pendapat  yang  kedua bahwa  kaffarahtelah  gugur  dengan  sendirinya  jika orang tersebut tidak memiliki kesanggupan untuk membayarkan kaffarah. Pendapat ini adalah pendapat beberapa ulama mazhab Malikiyah dan salah satu dari dua pendapat Imam asy-Syafi’i.
Pendapat inilah yang lebih tepat, sesuai dengan zhahir hadits Abu Hurairah diatas. Dan juga Allah ta’ala berfirman,
“Dan  Allah  tidak  akan  membebani  hambanya  kecuali  yang  sanggup diupayakannya.”(al-Baqarah: 286)

Jika  seseorang  melakukan  jima’  dengan  istrinya pada siang hari Ramadhan, apakah selain kafarah juga diwajibkan mengqadha`?

Sebagian  besar  ulama  berpendapat  bahwa  selain  membayarkan kaffarah,  dia  juga  diharuskan   meng-qadha`  puasanya.  Bersandarkan kepada  hadits  Abu  Hurairah  -radhiallahu  ’anhu-  diatas,  dengan  lafazh tambahan tersebut. Dimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dan puasalah engkau sehari menggantikannya.”
Sementara  al-Auza’i dan  juga  merupakan salah  dari  dua  pendapat Imam asy-Syafi’. Dan pendapat asy-Syafi’i lainnya, jikalau orang tersebut membayarkan  kaffarah  berupa  puasa,  maka  tidak  diharuskan  qadha` baginya.  Dan  jika  kaffarahnya  selain  puasa,  maka  diharuskan  untuk mengqadha`.
Dasar argumen mereka adalah hadits Abu Hurairah diatas, namun tanpa lafazh tambahan tersebut. Dan mereka mengatakan bahwa lafazh tersebut dha’if, karena Hisyam bin Sa’ad telah menyelisihi mayoritas para huffazh hadits yang meriwayatkan hadits Abu Hurairah dari jalan az-Zuhri. Dimana mereka  sama  sekali  tidak  menyebutkan  lafazh  tambahan  tersebut.
Dan pendapat inilah yang shahih/benar insya Allah.
Jika seseorang melakukan jima’ dengan istrinya pada siang hari Ramadhan, apakah istrinya juga  dikenakan keharusan membayarkan  kaffarah ataukah  kaffarah  hanya  bagi  dia (laki-laki) tersebut seorang?
Adapun  batalnya  puasa  wanita  tersebut,  tidak  terdapat  perbedaan pendapat dikalangan ulama. Dan mereka hanya berselisih dalam masalah keharusan  membayarkan  kaffarah.  Apakah  juga  berlaku  bagi  si  wanita ataukah tidak? Terdapat dua pendapat dikalangan ulama,
Pertama,   yang   merupakan   pendapat   mayoritas   ulama,   bahwa kaffarah juga diharuskan bagi si wanita sebagaimana kaffarah wajib bagi laki-laki (suaminya).
Kedua,  bahwa  kaffarah  tidak  wajib  bagi  wanita. Dan  jika  laki-laki (suaminya)  telah  membayarkan  kaffarah,  maka  kaffarah  tersebut  telah mencukupkannya dan juga istrinya.
Pendapat ini adalah pendapat asy-Syafi’i, dan juga pendapat al-Auza’i dan al-Hasan al-Bashri. Dan juga diriwayatkan pendapat ini dari imam Ahmad.
Yang  tepat  insya  Allah,  bahwa  kaffarah  juga  diharuskan  kepada wanita  sebagaimana  diharuskan  bagi  suaminya.  Karena  wanita  setara dengan  laki-laki  dalam  setiap  hukum  syara’,  kecuali  jika  ada  dalil  yang mengkhususkannya.
Al-Hafizh Ibnu Hajar -rahimahullah- berkata, “… Hadist itu, dijadikan dasar argumen  bahwa  kaffarah  hanya  diwajibkan  bagi  laki-laki  seorang  tidak kepada  wanita  yang  digaulinya.  Demikian  juga  dengan  sabda  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam  menanyakannya  beberapa  kali  kepada  orang  tersebut,  ”Apakah engkau sanggup?” dan “Apakah engkau memiliki kemampuan?” dan selain itu. Pendapat inilah yang paling shahih dari dua pendapat asy-Syafi’i dan juga merupakan pendapat al-Auza’i.
Sementara  mayoritas  ulama  dan  juga  merupakan  pendapat  Abu Tsaur  dan  Ibnul Mundzir,  bahwa  kaffarah  wajib bagi wanita juga,  dalam tinjauan ragam perbedaan dan rinciannya dalam pandangan mereka, pada wanita  yang  mardeka,  budak  sahaya,  yang  merelakan  dirinya  atau  yang dipaksa melakukannya, dan apakah kaffarah tersebut diharuskan bagi si wanita atau kepada si laki-laki.
Ulama  asy-Syafi’iyah  berargumen  dengan  diamnya  Rasulullah  Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan   tidak  mengabarkan   tentang   keharusan   kaffarah   bagi   wanita sementara hal tersebut suatu yang urgen.
Namun  argumen  tersebut  dapat  dijawab,  bahwa  menyanggah  eksistensi urgensi  pemberitahuan  tersebut  saat  itu.  Dikarenakan  wanita  tersebut tidaklah mengakui dan tidak bertanya. Adapun pengakuan suami terhadap diri istrinya tidaklah mengharuskan adanya suatu hukum bagi si wanita, selama wanita tersebut tidak mengakuinya.
Dan juga, bahwa kasus tersebut adalah kasus yang spesifik. Dengan begitu diamnya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap si wanita tidaklah menunjukkan sebuah hukum, karena adanya kemungkinan wanita tersebut tidak dalam keadaan berpuasa karena adanya udzur.
Dan  pula,  pejelasan  hukum  kepada  laki-laki  tersebut  juga  merupakan penjelasan hukum kepada si wanita, karena keduanya berkedudukan sama dalam pengharaman berbuka dan melanggar kehormatan puasa Ramadhan.
Sebagaimana  halnya  beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak  menyuruh  laki-laki  tersebut  untuk mandi (janabah),  karena  penegasan  adanya  nash  pada  sebuah  hukum untuk  beberapa  sebagian  mukallaf  sudah  mencukupi  pemberlakuannya bagi mukallaf yang lainnya.
Dan   juga   ada   kemungkinan   bahwa   sebab   diamnya   beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pemberlakuan hukum terhadap wanita, karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah mengetahui penyampaian suaminya bahwa wanita tersebut tidak memiliki kemampuan sedikitpun juga.”
Kaffarah jima’ berlaku secara tertib sebagaimana halnya pada kaffarah zhihar.
Sebagaimana  yang  ditunjukkan  secara  eksplist  oleh  hadits  Abu Hurairah  -radhiallahu  ’anhu-     bahwa  kaffarah  bagi  seseorang  yang melakukan  jima’  pada  siang  hari  Ramadhan  tanpa  adanya  udzur  syar’i, waib   diberlakukan   secara   tertib.   Maka   keharusan   baginya   adalah membebaskan    seorang    hamba    sahaya,    jika    dia    tidak    sanggup melakukannya, maka diharuskan berpuasa dua bulan berturut-turut, dan jika dia tidak sanggpup melakukannya, maka diharuskan untuk memberi makan enam puluh orang miskin.
Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama.
Adapun  mazhab  Malik,  dan  salah  satu  riwayat  dari  Imam  Ahmad, bahwa seseorang boleh memilih kaffarah yang diharuskan baginya, tanpa adanya tertib. Dan salah satu dari tiga kaffarah tersebut yang dipilihnya sudah cukup baginya.
Mereka  berargumen  dengan  hadits  pada  bab  ini,  dan  pada  sebuah lafazhnya,  bahwa  seseorang  berbuka  dengan  sengaja  pada  siang  hari Ramadhan,   maka   Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam  memerintahkan   kepadanya   untuk membayarkan kaffarah dengan membebaskan seorang budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh orang miskin. Dimana kata, “atau” pada hadits mengindikasikan bolehnya memilih.
Pendapat  yang  rajih/tepat  insya  Allah  adalah  pendapat  mayoritas ulama, yaitu pendapat yang pertama, bahwa kaffarah harus diberlakukan secara tertib.
Dikarenakan   hadits   tersebut   telah   diriwayatkan   dari   beberapa   jalur peiwayatan  dan  pada  kesemua  jalur  periwayatan  tersebut  menyebutkan adanya tertib pemberlakuan kaffarah. Dan juga yang menunjukkan bahwa tidak  diperkenankan  untuk  memilih,  karena  konteks  hadits  tersebut sebagai   sebuah   penjelasan   dan   jawaban   atas   sebuah   soal,   yang kedudukannya setara dengan sebuah syarat hukum.
Hamba sahaya berlaku umum, mencakup hamba laki-laki maupun wanita, baik yang beriman atau seorang kafir
Pembatasan makna budak dalam hadits Abu Hurairah, bahwa yang dimaksud adalah budak yang beriman/muslim sebagaimana yang terdapat pada kaffarah zhihar tidaklah tepat. Disebabkan adanya perbedaan hukum dan sebab.
Masalah  ini  erat  kaitannya  dengan  perbedaan  kalangan  fuqaha  dan ushuliyyiin dalam kaidah “taqyiid al-muthlaq”  -pembatasan suatu konteks nash   yang   global-,  jika   terdapat  dua  nash   atau   lebih   yang   dapat diberlakukan sebagai pembatas makna konteks global tersebut. Yang tepat dalam  masalah  tersebut,  haruslah  melihat  kepada  sebab  hukum,  hingga konteks nash yang mutlak dapat dibatasi dengannya. Jika sebabnya satu maka boleh di batasi dengannya jika tidak maka juga tidak diperbolehkan.
Diharuskan memberi makan enam puluh orang miskin, tanpa adanya khilaf/perbedaan pendapat dikalangan ulama.
Namun  ulama  berbeda  pendapat,  apakah  diperbolehkan  memberi makan  hanya  kepada  seorang  miskin  selama  enam  puluh  hari  ataukah tidak? Terdapat dua pendapat dikalangan ulama:
Mayoritas ulama berpendapat, pelarangan hal tersebut. Dikarenakan hadits tersebut disebutkan enam puluh orang miskin.
Sedangkan ulama mazhab Hanafiyah berpendapat, bolehnya.
Pendapat yang tepat, -insya Allah- adalah pendapat mayoritas ulama.
Wallahu a’lam.
Kaffarah  memberi  makan  kaum  miskin,  adalah dengan  memberi  satu  mud  makanan  kepada  masing-masing  dari mereka,  baik  itu  berupa  gandum,  kurma  kering,  kurma  ataukah selainnya.
Pendapat  tersebut  adalah  pendapat  di  kalangan  ulama  Syafi’iyah. Sementara ulama mazhab Hanafiyah, mengharuskan pemberian dua mud gandum, sedangkan biji-bijian lainnya sebesar satu sha`.
Namun zhahir hadits Abu Hurairah, tidak terdapat pembatasan nilai dan besar makanan yang harus diberikan. Dengan demikian, takaran nilai makanan  yang  diberikan  dikembalikan  kepada  ’urf/kebiasaan  setempat, baik  dari  jenis  makanannya  maupun  nilainya. Dan  yang  seharusnya, makanan tersebut telah memenuhi makna, “memberi makan ornag miskin,”
yaitu mencukupkan mereka pada hari tersebut. Wallahu a’lam.
(Lihat, Fathul Bari 4/170, al-Umm 2/85, Ma’alim as-Sunan 2/780-784, al-Majmu’  6/356-358, al-Mughni  4/196,  205-207, al-Muhalla  4/no.  737 dan 739, al-Bada’i 2/252-253, Nashbur Rayah 2/473-476, Kasysyaf alQina’  2/394-396,  al-Mubdi’  2/24,  399,  Nail  al-Authar  4/240-243  dan Sail al-Jarrar 2/44-45)
HUKUM BERJIMAK SAAT PUASA RAMADHAN Reviewed by sukses on 06.55 Rating: 5

Tidak ada komentar:

All Rights Reserved by RENUNGAN INSPIRASI DAN MOTIVASI © 2014 - 2015
powered by Blogger

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.