anak Main di Dunia Maya, dan Jangan Lupa Dunia Nyata juga
Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun kini akrab dengan
jejaring sosial di dunia maya. Mereka asyik meluaskan pergaulan di sana hingga
acap lupa dengan dunia nyata. Peran orangtualah untuk mencegah anak hanya aktif
di dunia maya.
Sahla,
murid kelas 4 SD di wilayah Jakarta Selatan, telah kenal internet sejak kelas 3
SD. Ibunya yang memang aktif di dunia mayalah yang memperkenalkan teknologi itu
pada anak pertamanya itu. Sekarang anak usia 9 tahun itu aktif di jejaring
sosial facebook dan menjalin pertemanan dengan teman-teman sebaya lainnya di
dunia maya. Dengan memalsukan tahun lahirnya tentu, mengingat situs ini
sesungguhnya mensyaratkan usia 17 tahun untuk mendaftar. Repotnya, kalau sudah
asyik, Sahla bisa berjam-jam duduk di depan komputer dan tak sempat lagi
bermain bersama teman-teman di sekitar rumahnya.
Beberapa tahun belakangan memang semakin banyak saja anak yang akrab
dengan jejaring sosial di dunia maya
Mengenalkan dan membuat aturan
Teknologi
informasi dalam bentuk internet yang semakin berkembang, sudah tentu mengandung
sisi negatif dan sisi positif buat orang dewasa, juga buat anak-anak. Sisi
positifnya misalnya banyak informasi yang bisa mereka dapatkan di internet yang
berguna bagi tugas-tugas sekolah mereka, atau mereka juga jadi terbiasa
menggunakan bahasa Inggris yang memang menjadi bahasa komputer dan internet
secara umum. Aktif di jejaring sosial juga membuat anak bebas berekspresi
dan berbagi cerita dengan teman-temannya dari berbagai tempat di dunia. Banyak
teman baru yang mereka dapatkan dengan hanya duduk di depan komputer. Wawasan
mereka pun bertambah luas.
Sementara
sisi negatifnya antara lain anak-anak mudah mengakses situs-situs yang tidak
baik dan dapat merusak mereka, misalnya situs-situs berisi kekerasan,
antisosial atau malah porno. Atau internet juga bisa menyebabkan anak hanya
asyik di depan komputer dan mengabaikan aktivitas bersosial dengan teman sebaya
di lingkungan sendiri.
Melindungi anak dari terpaan
negatif teknologi membuat sebagian orangtua menghalangi anak mengakses internet
sama sekali. Namun tindakan untuk menghalangi anak mengakses internet plus
jejaring sosial yang ada saat ini, seperti friendster, facebookatau
yang terbaru twitter, tidaklah bijaksana. “Kita tidak bisa menolak
dari perkembangan yang ada saat ini. Harus kita akui, ada manfaat yang bisa
kita ambil dari perkembangan ini. Hingga mau tak mau kita harus mempersiapkan
anak menghadapi perkembangan zaman ini,” kata psikolog Evi Elviati.
Yang utama dilakukan orangtua adalah menjelaskan pada anak tentang sisi positif
dan sisi negatif teknologi tersebut. Dengan bekal ini anak setahap demi setahap
dikenalkan pada teknologi informasi ini.
Adalah
lebih bijaksana bila orangtua yang mengenalkan perkembangan terbaru ini,
apalagi bila di rumah sudah tersedia fasilitas internet. Kalau pun tak
diajarkan di rumah karena orangtua tak mau mengajarkannya, mereka bisa
mengaksesnya di tempat lain, misalnya di warnet. Ini tentu lebih
mengkhawatirkan lagi karena di luar pengawasan orangtua. “Kadang sebelum kita
kasih tahu, mereka sudah lebih dulu tahu. Mungkin dari teman-temannya,” ujar
Evi.
Bila memang orangtua sendiri tak
memahami teknologi ini, maka tak ada ruginya bagi orangtua untuk mempelajari
hal ini dari berbagai sumber yang ada. Idealnya, orangtua memahami lebih dulu
teknologi ini dibanding anak-anak. Bagaimana orangtua bisa mengarahkan anak –
misalnya tentang situs mana yang boleh dibuka dan situs mana yang tidak boleh
dibuka atau bagaimana memblokir situs porno – bila orangtua tak dapat
mengoperasikan komputer, apalagi mengakses internet? Namun, bila anak sudah
tahu lebih dulu dari orangtua, jangan malu untuk minta diajari oleh
anak.
Mengenai
usia yang ideal, Evi memberi kisaran usia anak kelas 3 SD untuk tahap
pengenalan. Sementara untuk mempraktikkan sendiri sekitar usia kelas 4 dan
kelas 5 SD.
Lalu
yang tak boleh diabaikan orangtua adalah kontrol atau pengawasan terhadap
aktivitas anak di dunia maya tersebut. “Kepentingan orangtua di situ adalah
untuk melihat siapa teman-teman dia di sana dan bagaimana mereka. Bahkan
memilihkan teman yang baik buat anak pun berlaku juga di dunia maya. Bagaimana
anak bisa menjadi baik bila teman-temannya tidak baik,” terang Evi. Tindakan ini, menurut lulusan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia ini, dimaksudkan bukan untuk mengganggu privasi
anak. Karena dalam prosesnya di sana orangtua hanya memonitor saja dan memberi
masukan-masukan pada anak. Tentu saja proses ini hanya bisa terjadi setelah
sebelumnya memang telah tercipta keterbukaan dalam keluarga tersebut.
Ciptalkan pergaulan di dunia nyata
Dengan
keasyikan meng-update status dan chatting, apalagi ditambah
bermain game online di dunia maya, seringkali membuat anak
lupa waktu dan tak sempat lagi bergaul dengan teman-teman di lingkungannya.
Jangankan bermain, untuk belajar atau hal-hal penting lainnya pun diacuhkan.
Kondisi inilah yang harus diwaspadai orangtua. “Ini jelas tidak sehat. Anak
jadi kecanduan dan mengabaikan semua kegiatannya. Hal ini juga menjadikan
anak-anak pribadi yang egois,” kata Evi.
Walaupun
ada manfaat yang bisa didapat anak dari aktivitas di dunia maya, tetap saja
pergaulan dengan teman-teman sebaya di lingkungannya tak boleh ditinggalkan.
Walau sama-sama ‘bergaul’ , jelas pergaulan di dunia nyatalah yang bisa membuat
keterampilan sosial anak terasah secara optimal. “Di dunia maya, anak hanya
bertukar informasi secara verbal. Namun di dunia nyata, mereka bisa saling
bertatap muka, saling mengeluarkan emosi dan bahasa tubuh, sehingga
keterampilan sosial mereka pun terasah dengan baik,” papar psikolog kelahiran
Jakarta 39 tahun silam ini.
Rasa
simpati dan empati anak yang merupakan bekal bersosialisasi dalam
kehidupan dewasanya kelak juga bisa tergali dalam pergaulan di dunia nyata.
Sementara itu, pergaulan di dunia maya pun tak akan sedekat dan sejujur dalam
dunia nyata, apalagi siapa yang berani menjamin apa-apa yang diungkapkan teman
di dunia maya benar. Kebohongan dan tipuan amat mudah dilakukan di sana.
Masalahnya,
banyak anak yang tenggelam dalam dunia maya lantaran dalam kesehariannya mereka
tak punya teman, entah karena lingkungan yang sedikit anak-anak sebaya atau karena
mereka merasa teman-teman di sekitarnya tak menyenangkan buatnya. “Maka tugas
orangtua untuk menciptakan lingkungan dimana anak bisa bergaul, misalnya dengan
diikutkan kursus atau di sekolah anak didorong untuk bergaul. Atau bila
liburan, ajak anak ke rumah saudara-saudara kita sehingga mereka bisa bermain
bersama sepupunya. Yang penting ciptakan lingkungan bermain buat anak,” terang
Evi.
Mengabaikan
kebutuhan anak akan lingkungan bermain yang nyata bisa berakibat buruk bagi
perkembangan otak dan sosialisasi anak. Apalagi di masa kanak-kanaklah masa
terbaik untuk mengembangkan berbagai kemampuan dalam dirinya, termasuk
kemampuan untuk bersosialisasi.
Karena
internet juga bisa diakses dari handphone yang sekarang memang
menyediakan fasilitas itu, Evi mengingatkan para orangtua agar tidak memberi
anak handphone berfitur banyak dengan fasilitas lengkap.
Pengawasan penggunaan handphone memang relatif lebih sulit
dibandingkan penggunaan personal computer (PC) dan laptop
karena bentuk handphone yang kecil mudah dibawa dan
disembunyikan. Berikan anak – kalau memang harus dan benar-benar
perlu – handphone yang sesuai tujuannya saja, misalnya untuk
kelancaran komunikasi dengan orangtua atau keluarga. “Apalah arti prestise memberikan
anak handphone yang canggih, kalau ternyata lewat situ pula
anak-anak bisa mengakses segala hal yang berbahaya dan merusak,” kata Evi.
Memang
tidak pernah mudah menjadi orangtua, terlebih menjadi orangtua masa kini dengan
berbagai terpaan dari segala penjuru yang kian dahsyat. Masa depan anak jadi
taruhannya. Maka upaya membekali diri dengan berbagai pengetahuan harus terus
dilakukan orangtua, salah satunya mengikuti perkembangan teknologi.
anak Main di Dunia Maya, dan Jangan Lupa Dunia Nyata juga
Reviewed by sukses
on
07.12
Rating:
Tidak ada komentar: